ASIA MENGUBAH PARADIGMA BISNIS


 

Laporan HSBC
Judul diatas saya ambil dari berita di Kompas edisi 1 Juli 2010 halaman 10 yang berisi laporan HSBC “Looking East: The Changing Face of World Business”. Laporan tersebut dipublikasikan di Hong Kong pada tanggal 30 Juni 2010. Pada waktu saya bertugas di Unit Investor Relations PT Telkom (2000-2005), banyak sekali berhubungan dengan Investment Bank baik di dalam maupun luar negeri antara lain seperti Mandiri Sekuritas, BNI Securities, Bahana Securities, Goldman Sachs, Merryl Lynch, UBS, dan Citicorp. Setiap waktu tertentu unit research mereka selalu mengeluarkan berbagai laporan yang berkaitan dengan keuangan, bisnis maupun masalah ekonomi lokal, regional maupun global.
Dalam laporan HSBC tersebut disampaikan kini inovasi teknologi menjadi andalan utama, dan inovasi itu semakin banyak muncul dari Asia. Dewasa ini Cina dan India memimpin dunia dalam ekonomi berbasis pengetahuan dengan cara-cara yang mereka kembangkan sendiri. Mereka telah mengalahkan Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Tidak berlebihan dikatakan bahwa Timur telah mengubah cara berbisnis barat. Paradigma pasar bebas, prinsip-prinsip liberalisasi yang merupakan andalan Barat selama ini dalam pembangunan ekonomi, bersifat kontras dengan apa yang dilakukan dengan Asia yang menjalankan kapitalisme sembari melindungi sektor yang memerlukan proteksi.
Disampaikan pula oleh laporan tersebut, jika Eropa selama ini mengandalkan nama besar merek produk dan kemudian dikembangkan diseluruh dunia, maka paradigma tersebut sudah tidak dipakai lagi. Asia kini mampu membuat produk baru tanpa merek besar, tetapi menawarkan kegunaan baru seperti dibuktikan oleh Huwaei, perusahaan Cina penghasil teknologi komunikasi. Menurut laporan HSBC tersebut, poros ekonomi global sudah berpindah dari Eropa dan Amerika Serikat ke Asia.
Perusahaan Asia Sudah Menggeliat
Jika kita perhatikan laporan tersebut ternyata sedang terjadi perubahan paradigma secara global. Dulu Barat sekarang Asia. Dulu mengembangkan industri atau bisnis berdasarkan nama-nama besar industri atau produk, sekarang dengan nama tak dikenalpun bisa. Sekarang R&D Asia sudah menancapkan benderanya, terbukti dengan banyak inovasi baru baik itu produk, teknologi maupun manajemen.
Sebagai satu contoh lihat saja barang-barang turisme seperti topi, hiasan dan pernak-pernik untuk oleh-oleh para turis di berbagai bagian dunia ini mulai dari kota-kota di Asia Seperti Singapura, Kuala Lumpur, Hong Kong dan Tokyo. Demikian juga di kota-kota lainnya seperti Auckland, Melbourne, San Francisco, New York, London maupun Dubai , sangat didominasi oleh buatan Cina.

Pada tahun 2009, Huawei merupakan “the world’s no.2 telecom equipment provider” dan baru-baru ini perusahaan tersebut mengalahkan pesaingnya Ericsson dan Nokia Siemen dalam proyek pembangunan jaringan 4G di Norwegia. Dalam daftar 50 perusahaan yang paling inovatif, Huwaei berada pada urutan ke 5, dibawah Facebook, Amazon, Apple dan Google (http://www.fastcompany.com ).
Perusahaan manufaktur telekomunikasi Cina Huwaei dan ZTE yang menjadi besar dalam waktu yang singkat telah merajai industri telekomunikasi setidaknya di Asia Pasifik. Pada awal tahun 2000-an pada saat baru masuk pasar Indonesia, harga ADSL yang ditawarkan oleh vendor Eropa masih berharga US$ 100 per line, namun dengan masuknya kedua perusahaan tersebut harga turun mula-mula jadi US$ 40 dan kemudian menjadi hanya sekitar US$ 10 – 15 per line. Banyak vendor pesaing dari Eropa, Amerika Serikat, Korea Selatan dan Jepang yang telah lama berada di pasar telekomunikasi Indonesia mengalami kesulitan menghadapi persaingan dengan kedua perusahaan Cina ini.
ZTE yang memiliki kerjasama dengan IT Telkom, berdiri tahun 1985 dan dewasa ini produk-produknya telah dipakai di 135 negara. ZTE mengalokasikan minimum 10 persen dari pendapatan tahunannya untuk research. Rata-rata pegawainya berusia antara 28 hingga 30 tahun. Kalau anda mengunjungi kantor ZTE Indonesia di Kuningan Jakarta, kita segera bisa lihat banyak engineer muda termasuk dari Indonesia, sangat disiplin akan target kerja yang harus dicapai. Hasil kerjanya serta berbagai informasi dari lapangan maupun idea-idea dikomunikasikan dengan kantor pusat di kota Shenzen dekat Hong Kong melalui jaringan IT ZTE. Dalam beberapa kesempatan diskusi dengan beberapa eksekutif ZTE yang saya temui di Jakarta maupun Shenzen, dalam menetapkan target-target kerja betul-betul sangat menantang (stretch the goals) dan harus kerja keras dengan strategi yang smart. Kegiatan monitoring dan pengendalian berjalan dan saya kira disiplin yang keras mereka jalankan.
Para manajer ZTE sering kerja hingga larut malam agar target kerja dapat dicapai. Bahkan dalam waktu tertentu sering pagi-pagi jam 3 sudah menelpon stafnya untuk menyampaikan ide tentang penyelesaian suatu pekerjaan. Tiap tahun mereka meranking prestasi pegawainya. Tahun 2009 lalu top manajemen ZTE University (bukan sebuah universitas yang umum dikenal tetapi sebuah corporate world class training center yang dikembangkan ZTE) secara khusus datang ke IT Telkom khusus untuk melakukan diskusi tentang perbaikan proses bisnis kerjasama dengan IT Telkom termasuk aspek keuangannya. Demikian seriusnya mereka dalam mengembangkan bisnisnya di berbagai bagian dunia ini.
Clyde Prestowitz dalam bukunya Three Billion New Capitalists: The Great Shift of Wealth and Power to The East (2005) mencantumkan sebuah kalimat yang ada di Financial Times:
“ This is a quite watershed in global diplomacy. If you look at the decades ahead and at the economic rise of China and India then this will be one of the world’s most critical relationships.” Di India, banyak kita saksikan perusahaan-perusahaan yang dikelola secara inovatif berdasarkan pendekatan dan proses bisnis baru sama sekali dan menjadi besar. Mereka juga mempekerjakan banyak eksekutif dari Eropa maupun Amerika Serikat. Dalam list perusahaan India yang masuk top ten di India diantaranya ada yang bergerak di bidang telekomunikasi seperti Bharti Airtel dan Reliance Communications dan perusahaan lainnya seperti ICICI Bank, , Reliance Industries (Minyak dan Gas) dan Tata Steel. Banyak professor dari berbagai perguruan tinggi dari Amerika Serikat melakukan research di India tentang mengapa banyak perusahaan India yang sukses.

Dalam laporan HSBC disampaikan bahwa bagi Barat, penting sekali mempelajari dan memahami fundamental baru serta perubahan yang demikian cepat. Perusahaan-perusahaan harus melihat peluang ekonomi di Asia, yang ditandai dengan keragaman konsumen, pekerja berketrampilan, serta mengalami kemajuan dalam riset dan pengembangan, dan mampu mengatasi risiko akibat perubahan iklim. Dalam bagian akhir dari Prologue bukunya, Prestowitz menulis: “ Whether slowly or quickly, the forces now bringing wealth and power to the East will also bring crisis and painful adjustment to the West. But although the East will regain its historic place as the center of the world, it will also face huge challenges in providing clean air, clear water, and disease control for its huge populations. These are challenges and crises that cannot be avoided, but they can be managed-if we wake up.”
Sebagai dampak dari perkembangan industrinya yang sangat cepat, dewasa ini Cina menghadapi juga masalah pekerja. Buruh Cina merasa diperas. Pengusaha dituduh hanya mau member sedikit saja manfaat ekonomi. Mereka hanya menuntut bagian kecil dari kemakmuran Cina modern. Demikian judul berita di Kompas tanggal 6 Juli 2010 kemarin. Pada bulan Mei 2010 lalu terjadi 11 aksi bunuh diri pekerja pabrik elektronik Foxconn, pemasok Dell, Apple, Sony, dan Panasonic. Itu sekelumit dampak sekaligus tantangan bagi Cina.
YPT Group Harus Ambil Kesempatan…
Kita, Indonesia ada di Asia dan merupakan bagian dari dinamika Asia. Nampaknya juga sedang terjadi perubahan di Indonesia dengan segala kelebihan, potensi dan keterbatasannya. Perusahaan Indonesia, PT Elevo Technologies Indonesia kini sudah bisa menghadirkan laptop dengan harga sekitar 100 dollar AS. Mereka telah berhasil mendapatkan formula tepat untuk harga netbook yang pas di kantong masyarakat Indonesia. Sebelumnya Profesor Negroponte dari MIT AS menggagas proyek One Laptop Per Child. Untuk mendapatkan harga semurah itu juga tidak perlu memborong ribuan unit atau bahkan jutaan unit seperti disyaratkan program OLPC pada awalnya. Tapi sekarang beli satu unit pun bisa dapat dengan harga sebesar itu.
Demikian juga dengan YPT Group. Inilah opportunity yang harus di raih dan dikembangkan, dijadikan tekad untuk mengembangkan perguruan tinggi di dalamnya. Banyak yang dapat kita pelajari dan ambil manfaat yang positif dari perkembangan Cina dan India bagi kita di YPT Group untuk meningkatkan inovasi dan produktifiktas kerja YPT Group sembari mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Semoga demikian…**(husni amani/juli 2010)


Leave a Reply